Dimeriahkan Artis KPU Kota Pasuruan Luncurkan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Pasuruan Tahun 2024 | KPU Lantik Komisioner KPU Kota Pasuruan | Maskot dan Jingle Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Pasuruan Tahun 2024

Publikasi

Opini

Pemilihan Umum adalah sarana atau cara bagaimana rakyat dapat berpartisipasi dalam sistem demokrasi. Demokrasi dan Pemilu dua hal yang berkelindan, sedemikian pentingnya keberadaan Pemilihan Umum dalam negara demokrasi sehingga Pemilu dianggap sebagai ciri utama bagi negara demokrasi. Pemilihan Umum ditujukan sebagai sarana atau cara bertanya kepada masyarakat tentang keberlangsungan mekanisme pemerintahan yang konstitusional. Hasil dari Pemilu adalah sebuah legitimasi yang didapat pemenang pemilu untuk melaksanakan transfer kewenangan dari rakyat dalam koridor pemerintahan negara. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (dikutip dalam bukunya Dr. Daryono,M.Pd “Tidak memilih adalah pilihan”) menyebut 3 tujuan Pemilihan Umum yaitu: 1). Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib, 2). Untuk melaksnakan kedaulatan rakyat, 3).Dalam rangka melaksanakan hak-hak asasi warga negara. Selengkapnya

Oleh M. Nasrullah Akbar (Kasubbag Hukum & SDM) Konon, dahulu kala ada tukang kayu dari Nazaret. Dia tidak hanya merancang, tetapi juga menciptakan berbagai perabot yang indah dan bermanfaat. Dalam menjalani profesinya, ia paham betul arti kerja keras dan ketekunan. Sehingga orang-orang di sekitarnya pun segan kepadanya. Ia disegani bukan karena pangkat, jabatan, ataupun kekuasaannya. Melainkan karena kebijaksanan, ketulusan, dan sikapnya yang total dalam melayani. Semua dilakukan atas dasar cinta pada pekerjaannya. Lalu, sebagai manusia biasa, sanggupkah kita meniru keistimewaan Isa si tukang kayu dari Nazaret?.  Jauh sebelum bicara tentang cinta, seringkali kita dihadapkan pada kesulitan-kesulitan hidup yang membuat terseok-seok. Seperti truk kelebihan muatan yang setiap saat dibayangi celaka di jalanan. Masalah kita tidak istimewa. Di luar sana tentu banyak laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarga. Tidak sedikit pula, para ibu dan perempuan dengan setia mempersembahkan dirinya agar bisa bertahan dalam dunia yang morat-morit dan sering tak berpihak pada mereka. Bon Jovi memotret para pasangan pekerja dengan lagunya "Livin' On A Prayer". Dengan piawai ia menjadi pendongeng mengisahkan pasangan suami istri, Tommy dan Gina. Tommy, pekerja galangan yang baru saja dipecat. Sedangkan Gina, pelayan di kedai yang bekerja untuk menghidupi mereka berdua. Ketika keadaan memburuk, mereka terus berusaha untuk saling mendukung. Saat Tommy sedang kalut, Gina berusaha menguatkannya dan berkata: “We’ve gotta hold on to what we’ve got. It doesn’t make a difference if we make it or not. We’ve got each other and that’s a lot. For love we’ll give it a shot.” Sebaliknya, saat malam hari datang, Gina menangis dan merasa bahwa hidup yang dijalaninya sangat berat. Tommy berusaha membuatnya tenang. Meyakinkannya bahwa suatu saat, entah kapan, mereka pasti berhasil. Sembari berusaha terus menjalani hidup bersama harapan dan doa. "Woah, we’re half way there Woah, livin’ on a prayer Take my hand, we’ll make it I swear Woah, livin’ on a prayer" Dalam terminologi agama, ia dinamakan doa. Doa yang sesungguhnya adalah gerak dan upaya. Bukan yang malas, bukan gemar berkhayal, tetapi berbuat untuk kesejahteraan yang menyejahterakan dan dikuatkan oleh harapan. Silahkan kalau ini dianggap sebagai klise atau hanya bualan belaka. Namun, tidak ada salahnya jika disimpan dalam kepala atau ditulis yang besar pada dinding kamar. Sebagai bekal nanti untuk menghadapi hari-hari yang sulit maupun sebagai penyemangat untuk memulai hari-hari yang malas. Dalam lagunya yang lain, "Born To Be My Baby", Bon Jovi membuka dengan lirik yang menggambarkan beratnya kehidupan pasangan-pasangan pekerja. "Rainy day and we worked all day. We both goy jobs cause theres bills to pay. We’ve got something they cant take away. Our love, our lives" Tak bermaksud meromantisasi kisah pasangan pekerja, tapi tak ada hal lain yang membuat kita terus bertahan selain harapan dan doa seperti yang dikatakan Tommy.  Semoga kita selalu punya cinta yang saling menopang dan menguatkan. Pak ustadz berteriak "Allahumma" para hadirin serempak meneruskan "Amiinn". Memang, tak mudah menjalani kehidupan yang penuh benturan. Memang, tak mudah mencapai kehidupan yang indah dan ideal dengan kepalan tangan penuh semangat. Lebih mudah kalau kita menurunkan standar ideal dan membiasakan diri menerima apa saja yang tidak sempurna. Tidak pernah ada dunia yang ideal. Hidup sebenarnya hanya perkara kesiapan menerima benturan-benturan. Semoga kita senantiasa menjadi manusia yang lentur dan membal. "Allahumma" "amiin". Bagi sebagian orang, hal itu dicap terlalu buruk karena dianggap malas memperbaiki keadaan. Tetapi, kita bisa melihat sisi lainnya. Menurunkan standar ideal diartikan belajar membiasakan diri menerima hidup dengan hal-hal yang kurang sempurna. Selanjutnya, menoleransi hal-hal yang kurang sempurna tersebut dan tidak keberatan menjalaninya. Hidup terasa lebih indah kalau dijalani dengan sikap pesimis. Karena optimis hanya akan membuat orang tidak siap menerima kekecewaan. Sejatinya mereka hanya tidak sanggup mengalihkan fokus dari mala.  Pesimisme itu bukan berarti kita membayangkan masa depan serba gelap. Justru pesimisme membuat kita lebih siap ketika yang ideal tidak terwujud. Misalnya sedang lapar, "Oke, saya nanti makan nasi rawon", sambil membayangkan kalau tidak ada juga tidak masalah, asal ada makanan. Sebagaimana orang bijak pernah berkata "Pessimism is the cure for anger". Tidak perlu menunggu optimis. Matahari hanya punya kesetiaan dalam menjalankan tugasnya untuk terbit setiap pagi. Sebab, matahari tahu kalau dia tidak menjalani kewajibannya, dunia akan kiamat. Kita juga seperti itu. Hanya butuh kesetiaan menjalani proses menuntaskan kerja agar hidup tidak kiamat. Jauh lebih penting dari tulisan jelek ini atau bahkan jelek saja belum. Untuk semua pekerja yang sedang membawa neraka kecil di pundak, saya hanya ingin menyampaikan kalimat favorit Ernest Hemingway yang selalu ditulis pada setiap akhir surat-suratnya :"il faut d’abord durer" (di atas segalanya, orang mesti bertahan).

Oleh: Gandha Widyo Prabowo (Penata Kelola Pemilu Ahli Muda KPU Kota Pasuruan)             Pertanyaan yang paling malas untuk saya jawab ketika ngobrol dengan orang baru kenal adalah pertanyaan tentang pekerjaan. “Mas-nya kerja di mana?”. Ketika dijawab saya kerja di Komisi Pemilihan Umum (KPU), pertanyaan kedua pasti muncul mengiringi. “Kalau sedang tidak pemilu, kerjaan KPU ngapain aja mas?”.             Ini pertanyaan yang sulit dijawab. Sesulit menjawab mengapa tiang listrik tetap tegak berdiri walaupun habis ditabrak mobilnya You Know Who. Amazing-nya, justru mobilnya yang berantakan dan penumpang di dalamnya mengalami cidera berkepanjangan. Kalau Newton masih hidup, dia berkesempatan menyaksikan bahwa teorinya tentang hukum aksi-reaksi sudah terpatahkan di Jakarta oleh Lord Voldermort. Semoga di alam kuburnya sana Newton tidak galau tingkat kecamatan karena peristiwa ini.               Ok fine, cukup bahasan tentang tiang listrik dan orang-orang yang pernah jadi korbannya. Kembali ke tema. Dari beberapa orang baru kenal yang saya jumpai, hampir 99% mengajukan pertanyaan yang sama. Sepertinya pertanyaan ini menjadi Standar Operasional Prosedur baku tentang bagaimana memulai percakapan yang baik dan benar. Hanya 1% sisanya yang memulai percakapan dengan pertanyaan “Mas-nya sudah menikah apa belum?”. Itupun yang tanya cowok. Eh, kok tiba-tiba jadi merinding...             Jujur, sebenarnya tidak ada yang salah dengan pertanyaan ini. Bagi saya, wajar saja mereka menanyakannya. Pertama, karena ketidaktahuannya dan keinginan untuk tahu kerja KPU post-electoral period. Kedua, sebagai rakyat yang taat bayar pajak, mereka mau memastikan uang yang dibayarkan tidak dipakai untuk menghidupi aparat negara yang magabut (makan gaji buta). Cukup sudah dikorupsi, jangan ditambah untuk magabut pula. Mbok pikir iki duit e Mbahmu po? Rudolfo tidak rela Maria...             Kalau kata mbak Siti Nurhaliza, tipologi KPU memang berbeza dengan lembaga negara yang lain. KPU adalah lembaga non struktural yang dibentuk untuk ngurusi pemilu thok. Jadi alangkah wagunya kalau KPU ngurusi soal keluarga berencana atau penanganan bencana. Itu sudah diurus oleh yang lain. Kalau ga percaya, coba cek instansi sebelah.               Sebagai bagian dari state auxiliary organs alias institusi/organ negara penunjang, KPU dibentuk untuk mengatasi krisis kepercayaan publik yang muncul dari masa transisi otoritarian ke demokrasi. Pembagian kekuasaan negara ala trias politica-nya Montesquieu dipandang belum mencukupi untuk diterapkan di dalam negara demokrasi. Makanya, saat itu banyak dibentuk organ negara penunjang untuk menopang kegiatan bernegara. Kepercayaan publik adalah koentji !             Tapi kan... Tapi kan... Pemilu sejak dari dulu sudah ada bro. Nyonya Meneer yang sudah berdiri sejak 1919 menjadi saksi coblosan pemilu pertama kali di tahun 1955. Sampai Nyonya Meneer kemarin dinyatakan bangkrut oleh pengadilan dan tidak mampu berdiri, pemilu masih tetap ada. Terus apa bedanya?             Banyak pakar politik menganalisa bahwa pemilu yang dilaksanakan pada masa pre-reformasi tidak demokratis. Tidak genuine (sejati), abal-abal alias KW 3. Kecuali pada saat pemilu pertama kali dilaksanakan pada tahun 1955. Selebihnya, dianggap tidak memenuhi parameter pemilu demokratis.             Apalagi pada masanya Si Mbah, yang selalu bilang sek enak jamanku mbiyen itu. Bayangkan, coblosan pemilu belum digelar, hasilnya sudah ketahuan. Ibarat mau nembak cewek, bisa dipastikan bakal diterima jadi pacarnya. Tidak hanya itu, sampai prediksi nilai persentase hasil suara yang diperoleh sama dengan kenyataannya. Angkanya akurat sampai dengan dua angka di belakang koma. Prediksi yang amat jitu. Andaikan waktu itu si Mbah keranjingan beli kupon togel, bisa-bisa gulung tikar semua bandar togel se-Indonesia Raya.             Walhasil, si Mbah bersama partainya menjadi penguasa tak tergoyahkan hingga tujuh kali pemilu digelar. Sekarang tidak bisa lagi model yang beginian. KPU memastikan bahwa pemilu sekarang adalah sebuah proses yang predictable procedures and unpredictable results. Seluruh tahapan di dalam pemilu dirancang sedemikian rupa dan hasil pemilunya tidak ada yang tahu. Rakjat-lah yang punya kuasa penuh menentukan siapa partai politik pemenang pemilu dan siapa yang dipilihnya untuk jadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Subhanallah !             Nah, tahapan pemilu sebelum menuju hari-H coblosan amatlah panjang. Tidak mak bedunduk atau mak jegagik langsung hari coblosan. Semua butuh proses kawan. Taruhlah misalnya Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang coblosannya dilaksanakan serentak pada tanggal 17 April 2019. Tahapan pemilunya sudah dimulai dari sekarang, di tahun 2017 lho. Belum lagi KPU juga melaksanakan pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Dan ketika tahapan pemilu sudah berjalan maka haram hukumnya bagi KPU mengenal hari libur. No days off.             Pemilu punya siklusnya sendiri. The ACE Electoral Knowledge Network, portal website yang menyediakan konten informasi tentang kepemiluan di seluruh dunia, memberikan penjelasan secara detail mengenai Electoral Circle (siklus pemilu). Menurut penjelasannya, pemilu terbagi dalam tiga masa; masa pra-pemilu, masa pemilu, dan masa pasca-pemilu. Dari ketiga masa itu, bagi Chrisye panggah tiada masa yang paling indah selain masa-masa di sekolah. Ah jadi baper kalau inget masa sekolah.             Sekelumit penjelasan ini Insyaallah dapat memberikan pemahaman kepada akhi, bahwa KPU tetap bekerja dan melaksanakan tugasnya pada ketiga masa pemilu ini. Tidak magabut seperti yang dituduhkan kalau tidak ada pemilu. Kalaupun ternyata ada yang magabut itu hanya si Mawar, bukan nama sebenarnya.